Abolisi Terhadap Tom Lembong Tidak Tepat Secara Hukum, LBH Medan: Kriminalisasi dan Politisasi Hukum

Photo Author
- Jumat, 1 Agustus 2025 | 21:40 WIB
Foto: Direktur LBH Medan Irvan Saputra SH MH  (LBH Medan )
Foto: Direktur LBH Medan Irvan Saputra SH MH (LBH Medan )

MEDAN-Portibinews: Pemberian Grasi, Amnesti dan Abolisi merupakan hak prerogatif yang dimiliki oleh Presiden berdasarkan pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Berbicara hak prerogatif, Indonesia dikejutkan dengan Adanya Pemberian Abolisi dan Amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto terhadap Thomas Trikasih Lembong atau sering dikenal dengan Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. 

Serta 1.116 amnesti kepada narapidana lainya, sebagaimana Surat Presiden No. R42/Pres/07/2025, usulan amnesti bagi Hasto Kristiyanto dan 1.116 narapidana lainnya. Serta Surat Presiden No. R43/Pres/07/2025 usulan abolisi untuk Tom Lembong.

Terkhusus Abolisi, secara hukum dimaknai dengan penghapusan atau dalam bahasa latin disebut abolitio yaitu merupakan penghapusan terhadap seluruh akibat penjatuhan putusan pengadilan kepada seseorang terpidana atau terdakwa yang bersalah. 

Baca Juga: Sri Mulyani Tegaskan Penarikan PPh oleh Marketplace Bukan Aturan Baru, Sebut Demi Kepastian Hukum

Abolisi adalah hak prerogatif yang dimiliki presiden untuk menghapuskan hak tuntutan pidana dan menghentikan jika telah dijalankan. Hak abolisi diberikan dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

Sejarah Amnesti dan Abolisi Di Indonesia

Amnesti dan abolisi diatur dalam Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954, dimana regulasi tersebut menegasakan jika amnesti dan abolisi diberikan kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda.

Pemberian amnesti oleh presiden di Indonesia bukan barang baru, sebelumnya tercacat dalam sejarah empat Presiden Indonesia pernah memberikan amnesti dan abolisi terhadap para terpidana/narapidana hal itu ditandai Pada Tahun 1961, Presiden Sukarno mengobral abolisi dan amnesti kepada mereka yang dituding/ diduga pemberontak yang berjanji menghentikan perlawanan dan menyerahkan senjata.

Baca Juga: Rico Waas Serap Aspirasi di Kampung Nelayan Belawan, Warga Butuhkan Ambulance Perahu dan Alat Pemadam Kebakaran

Pengampunan itu berlaku untuk mereka yang diduga terlibat pemberontakan separatisme Daud Beureueh di Aceh; pemberontakan PRRI/Permesta di daera-daerah; dugaan pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan; pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kartosuwiryo di pulau Jawa; pemberontakan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan; dan pemberontakan Republik Maluku Selatan di Maluku.

Begitupun Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres Nomor 63/1977 untuk memberikan amnesti umum dan abolisi kepada para anggota gerakan Fretilin di Timor Leste. Pengampunan itu berlaku bagi anggota perlawanan kemerdekaan Timor Leste di Tanah Air maupun luar negeri. Pengampunan itu bagian dari pencaplokan wilayah bekas jajahan Portugis tersebut.

Pasca Soeharto lengser, Presiden BJ Habibie melalui Keppres Nomor 123/1998 juga memberikan sejumlah abolisi dan amnesti. Diantaranya untuk para oposisi Orde Baru yang ditahan. Selain itu, abolisi dan amnesti juga diberikan kepada sejumlah tokoh pejuang kemerdekaan Aceh, Papua, dan Timor Leste.

Baca Juga: Disebut Reza Gladys Bayar Rp4 Miliar ke Nikita Mirzani di Persidangan, Shandy Purnamasari: Makasih ya Jadi Fitnah ke Aku

Tidak berhenti di Presiden Habibi, kemudian Presiden Abdurrahman Wahid juga memberikan amnesti kepada sejumlah aktivis yang dikenai pidana pada masa Orde Baru. Melalui Keppres Nomor 159/1999 tersebut, Abdurrahman Wahid membebaskan Budiman Sujatmiko, Suroso, Ignatius Damianus Pranowo, Yacobus Eko Kurniawan, dan Garda Sembiring.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Ferra Hariyanto

Tags

Rekomendasi

Terkini

X