Dalam konteks perkara ini, jika intimidasi dan kekerasan terjadi karena aktivitas jurnalistik—memantau proyek Dana Desa dan melakukan konfirmasi—maka unsur “menghambat/ menghalangi” patut dipertimbangkan oleh penyidik.
Asas dan Strategi Pembuktian
Alat bukti: keterangan saksi (termasuk rekan jurnalis dan warga), visum, dokumentasi luka, serta kemungkinan rekaman atau jejak komunikasi yang menunjukkan perintah/koordinasi kekerasan.
Motif: jika terhubung dengan liputan dugaan penyimpangan Dana Desa, motif untuk membungkam pemberitaan akan memperkuat dugaan pelanggaran UU Pers di samping KUHP.
Pertanggungjawaban pelaku utama dan turut serta: peran masing-masing pihak perlu diurai—siapa yang memerintah, siapa yang melakukan, dan siapa yang membantu—untuk menentukan pasal dan tingkat pidana.
Desakan SMSI NTT dan Agenda Perlindungan Pers
Sekjen SMSI NTT menekankan tiga langkah:
Penangkapan dan penetapan tersangka bagi pihak yang diduga terlibat berdasarkan alat bukti permulaan yang cukup;
Baca Juga: Tak berempati Pada Rakyat, Jaringan Promedia Desak Zulhas Copot Eko Patria dan Uya Kuya
Penanganan terpadu dengan mengupayakan penerapan UU Pers berdampingan dengan KUHP, agar pesan hukumnya jelas: menghalangi kerja pers adalah tindak pidana;
Jaminan keselamatan korban dan saksi, termasuk akses layanan medis dan perlindungan dari intimidasi lanjutan. SMSI NTT juga mendorong Dewan Pers dan organisasi pers lainnya mengawal kasus ini, termasuk membuka Posko Bantuan Hukum Pers bila diperlukan.
Akuntabilitas Pemerintah Desa dan Transparansi Dana Desa
Peristiwa ini mesti menjadi titik balik bagi pemerintahan desa untuk mengedepankan akuntabilitas. Alih-alih alergi kritik, aparatur desa seharusnya membuka informasi, menyiapkan dokumentasi pekerjaan, dan proaktif memberi klarifikasi. Mekanisme sengketa pemberitaan tersedia: hak jawab dan hak koreksi—bukan kekerasan.