Mengenai pengawasan pada aktivitas tersebut, Uli terang-terangan menyebut peran negara yang tak hadir dalam prosesnya.
“Setelah mereka (negara) memberikan izin, nyaris tidak pernah melakukan evaluasi pada izin yang diberikan, sekalipun kita sudah melaporkan bahwa terjadi banyak pelanggaran di sana. Tidak pernah ada evaluasi,” kata Uli.
Menurutnya, mandat dari Undang-Undang tentang negara yang harus melakukan pengawasan karena berkaitan dengan keselamatan rakyat, tak direalisasikan.
Baca Juga: Presiden Prabowo Harus Tetapkan Banjir dan Longsor di Sumut Jadi Bencana Nasional
“Ketika mau memberikan izin, harus diperketat perizinannya karena makna izin sesungguhnya itu adalah pengetatan dan proteksi,” tuturnya.
Izin yang diberikan tanpa ada pengawasan, kata Uli sebagai bentuk kelonggaran yang diberikan oleh negara.
Singgung Perusahaan Nakal yang Lolos dari Hukum Negara
Sorotan lain dari WALHI adalah lemahnya upaya penegakan hukum oleh negara kepada perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan.
“Tidak banyak juga, bahkan bisa dihitung dengan jari perusahaan-perusahaan yang melakukan kejahatan lingkungan yang negara pernah lakukan penegakan hukum kepada mereka. Seolah-olah negara kita ini tunduk pada kepentingan,” tambahnya.
Uli melanjutkan, dengan peran negara yang dianggap lemah untuk memproses hukum perusahaan bermasalah, menjadi bentuk ada peran dalam kejahatan lingkungan.
“Ini seperti tepatnya negara memfasilitasi kejahatan lingkungan. Karena apa? Karena mereka memberikan izin dan membiarkan orang yang mendapatkan izin itu melakukan pengrusakan tanpa ada monitoring, tanpa ada penegakan hukum,” kata Uli lagi.
WALHI: Kejahatan Lingkungan di 3 Lokasi Bencana Sumatera
Sementara itu, kejahatan lingkungan yang sering terjadi termasuk di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh menurut keterangan Uli terkait dengan aktivitas ilegal.
“Kejahatan lingkungan yang sering terjadi itu misalnya perusahaan diberi izin 1.000 hektare, tapi mereka ngebuka 1.200 hektare, mereka membuka lahan di luar yang diizinkan,” imbuhnya.