Kedua, strategi transisi termasuk co-firing biomassa di PLTU, retrofitting fosil dengan teknologi.
“Seperti carbon capture & storage (CCS), memperkuat energi terbarukan variabel, dan memperluas penggunaan smart grid dan sistem penyimpanan energi,” papar dia.
Lebih jauh, Kementerian ESDM mencatat, satu aksi regulatif yang sudah mulai tampak nyata ialah persetujuan pensiun dini PLTU Cirebon I dengan kapasitas sekitar 650 MW. Hal itu dilakukan melalui fasilitas mekanisme transisi energi.
Pemerintah, lewat Permen 10/2025 dan RUPTL, mewajibkan agar ketika PLTU seperti Cirebon I akan disuntik mati, ada pengganti pembangkit EBT, kesiapan infrastruktur jaringan, dan studi kelayakan mencakup aspek teknis, hukum, komersial, keuangan, serta prinsip “transisi energi berkeadilan”.
“Artinya, tidak hanya keputusan administratif, tetapi juga pertimbangan sosial-ekonomi dan dampaknya bagi masyarakat,” sebut Yuliot.
Target dan Tantangan
Dalam dokumen RUPTL digambarkan bahwa target pemerintah sekitar 61% dari penambahan kapasitas pembangkit selama 2025-2034 adalah EBT. Hal ini tanpa memperhitungkan storage, sementara sisanya dari energi fosil.
Namun, terdapat kekhawatiran bahwa target bauran EBT nasional untuk 2025 (sekitar 23%) bisa meleset.
Data semester I-2025 menunjukkan realisasi investasi EBT baru senilai sekitar US$0,8 miliar.
“Capaian ini belum cukup untuk mengejar target jika laju investasi tidak ditingkatkan. Selain itu, tantangan lainnya adalah kesiapan teknologi penyimpanan energi (storage), integrasi PLTS dan angin ke dalam jaringan listrik, serta skala investasi yang sangat besar. Diperlukan dukungan Independent Power Producers (IPP), skema pendanaan, regulasi tarif, dan insentif fiskal,” tutupnya.