“Mereka nggak melakukan studi kelayakan dengan bener secara empirik berdasarkan data di lapangan, sehingga wajar saja kalau tidak akurat perhitungannya,” ucap Sulfikar.
“Makanya, cost overrun tinggi karena tidak ada studi yang dilakukan dengan benar. Jepang pun kalau melakukan, pasti ada cost overrun tapi akan minim karena mereka sudah mengukur semuanya,” tambahnya.
Sedangkan China, kata Sulfikar, melakukan studi lapangan justru saat proyek sedang berjalan.
Perencanaan Proyek Whoosh Disebut ICW Tak Matang
Dalam siaran podcast lain, aktivis dan peneliti ICW, Almas Sjafrina, sempat menyinggung tentang perencanaan proyek Whoosh yang tidak matang hingga membuat seolah kelabakan dalam pembayaran utangnya.
“Yang membuat bingung kok sekarang baru ribut gimana cara bayarnya, ini harusnya sudah dipikirkan sebelum programnya, proyeknya jalan,” kata Almas dikutip dari video yang diunggah di kanal YouTube Bambang Widjojanto pada Selasa, 11 November 2025.
“Sebetulnya, ini menunjukkan bagaimana pemerintah kita itu belum matang di level perencanaan persiapan udah jalan duluan,” lanjutnya.
Baca Juga: Momentum bersejarah: Bahasa Indonesia Bergema di General Conference UNESCO
Almas menambahkan bahwa akibat dari perencanaan yang kurang tepat itu membuat perhitungannya meleset ketika proyek Whoosh mulai berjalan.
“Makanya, ada penghitungan yang meleset, berapa sih proyeksi pendapatan dari Whoosh yang harapannya itu bisa membantu untuk membayar ke China dan sebagainya,” ucapnya.
“Problem pertama menurut saya di situ adalah perencanaan dan persiapannya,” imbuh Almas.
Menurutnya, sebelum proyek Whoosh dimulai, harus ada kajian panjang dan mendalam.
“(Kajian) soal kebutuhannya, siapa target penumpangnya. Padahal, kalau perencanaan beres, 50 persen pekerjaan itu sudah selesai,” tegasnya.