Selain tes Bahasa Inggris, kesulitan lainnya adalah ia harus menulis essay yang bagus, relevan dan berkesan. Essay yang bagus adalah kunci pertama untuk bisa lolos seleksi tahap pertama.
Pada proses pembuatan essay, Vannes mengaku melakukan persiapan dan riset selama sebulan lebih. “Lelah pastinya, tapi demi mewujudkan mimpi, selalu ada kalimat pantang mundur,” ujarnya.
Cerita berbeda dialami Hilmi Muthahhari Situmorang, mahasiswa Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Ia bahkan telah menargetkan lolos IISMA dari semester-semester sebelumnya. Karenanya ia berusaha keras menyeimbangan kegiatan akademik dan non-akademik.
“Kedua hal ini perlu diperjuangkan dan diseimbangkan, lelah dan letih itu pasti, tapi kuncinya jangan mudah menyerah,” ujar Hilmi yang berhasil lolos ke Singapore Management University, Singapura.
Ketatnya persaingan untuk bisa lolos menjadi awardees IISMA ditambah dengan biaya tes yang tak murah memang kerap menjadi tantangan tersendiri.
Aisah Fahrani mengatakan, tak jarang untuk mendapatkan sertifikat Bahasa Inggris, rekan-rekannya harus mencoba dua sampai tiga kali.
Baca Juga: Dikabarkan Pemprov NTB Tak Sanggup Bayar Hosting Fee MotoGP Mandalika Rp 231 Miliar
Sekali tes biayanya paling murah mencapai Rp900.000. Karenanya para awardees menilai sejatinya tantangan yang paling besar untuk mengikuti tes IISMA ini adalah keterbatasan biaya.
Untuk itu, para awardees berharap ke depan proses ini bisa diubah, atau kalau memungkinkan biaya tes disubsidi atau digratiskan.
Sebab, bila biaya yang dikeluarkan cukup tinggi kesempatan belajar ke luar negeri akan tertutup bagi mereka yang rendah ekonominya. Program IISMA hanya akan dinikmati oleh kalangan menengah atas dan dirasa kurang berkeadilan.
Ridwan Firmansyah dari FEB, Program Studi Manajemen yang lolos ke National Cheng Kung University, Taiwan, mengamini hal tersebut.
Karenanya ia berpesan kepada para awardee di tahun 2025 agar mempersiapkan diri mereka dengan baik.