Bagi mereka, kecepatan adalah kunci keselamatan di tengah medan yang labil.
"Mau bagaimana lagi, nyawa lebih penting," imbuhnya dengan nada pasrah namun tegar.
Rasa sakit fisik akibat medan yang tajam pun seolah mati rasa demi memenuhi kebutuhan perut keluarga yang menunggu.
"Kadang kena duri kaki kami tidak terasa," tutup wanita itu mengakhiri ceritanya.
Baca Juga: Curhat Pengungsi di Aceh Tamiang: Menolak Bantuan Uang, Mengaku Lebih Butuh Mukena untuk Ibadah
Perjuangan warga Sibolga ini menjadi potret nyata betapa sulitnya distribusi bantuan di wilayah-wilayah yang terisolasi secara geografis, di mana untuk sepiring nasi saja, nyawa harus menjadi taruhannya.